Pedass...! Greenpeace Kritik Mentri LHK Soal Konsesi Sawit Di Papua
Greenpeace menilai moratorium sawit yang diinisiasi sebagai upaya pembenahan pemberian izin usaha justru dimanfaatkan oleh Siti dalam hal pelepasan kawasan hutan untuk korporasi.
Moratorium kelapa sawit seharusnya digunakan untuk meninjau keputusan izin yang dikeluarkan kepemimpinan sebelumnya dan membatalkan atau menunda proses pengajuan pelepasan hutan terhadap izin yang mencurigakan.
Namun, laporan justru mendapati Siti terus memproses aplikasi pelepasan kawasan hutan yang berasal dari masa jabatan sebelumnya dengan dalih tidak ada pilihan lain.
Greenpeace juga menyoroti perubahan yang beberapa kali dilakukan KLHK terhadap peta hutan primer dan lahan gambut pada moratorium sawit. Mereka menduga peta direvisi atas permintaan korporasi.
"Informasi ini kami peroleh karena antara 2013 dan 2015 KLHK mem-posting tabel semua korespondensi di situsnya," tulis laporan tersebut.
Informasi ini diperoleh karena antara 2013 sampai 2015, KLHK mengungkap daftar perusahaan yang meminta konsesinya dihapus dari peta moratorium.
"Selama kurun waktu tersebut tercatat 11 perusahaan perkebunan dan satu perusahaan kehutanan dengan konsesi di Provinsi Papua telah meminta tanah dalam konsesinya dihapus dari peta moratorium: semua permintaan ini dikabulkan," tuturnya.
Semenjak tahun 2015, KLHK tidak lagi mempublikasi identitas perusahaan yang meminta konsesinya dicabut dari moratorium sawit.
Sementara perubahan izin di hutan alam primer dan lahan gambut masih dilakukan hingga tahun ini. Menurut catatan CNNIndonesia.com, KLHK baru saja merubah luasan pembatasan izin pada Maret lalu.
Langkah ini dikritik Greenpeace karena dikhawatirkan dapat memperparah laju deforestasi
Analisa Center for International Forestry Research (CIFOR) mencatat 168.471 hektare hutan di Provinsi Papua telah dikonversi menjadi perkebunan sepanjang 2000-2019.
Sementara, Greenpeace mengatakan 80 persen luas Papua masih merupakan hutan alami dengan ekosistem alam yang perlu dilindungi. Hak atas lahan masyarakat adat di Papua juga seyogyanya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
"Mereka kehilangan kendali atas lahan mereka. Kelompok pendatang atau non-Papua juga mendominasi kegiatan ekonomi di Tanah Papua. Sementara itu, masyarakat adat semakin bergantung pada subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat," lanjut laporan tersebut.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan sumber deforestasi tertinggi pada area konsensi di Papua tak terjadi era Menteri LHK Siti Nurbaya.
Dalam laporan tentang deforestasi di tanah Papua pada areal PKH per 15 Februari, Siti mengeluarkan 17 SK PKH seluas 269.132 hektare selama 2015-2019.
Sekitar 12 dari 17 SK PKH tersebut merupakan kelanjutan proses persetujuan prinsip yang diberikan pemerintahan sebelumnya.
Namun, tak dirinci 17 SK PKH itu diberikan kepada siapa saja dan untuk keperluan apa. Laporan tersebut hanya memaparkan penurunan luas tutupan hutan alam pada areal total1 17 SK PKH tersebut.
Secara kumulatif terjadi penurunan luas hutan alam sebesar 1,18 persen atau 2.411 hektare dari total luas hutan alam yang tersebar pada areal total 17 SK PKH selama 2015-2019.
CNNIndonesia// Riaupublik