Kolonialisme Baru Itu Bernama Ekspor dan Indeks Scopus?
https://www.riaupublik.com/2018/01/kolonialisme-baru-itu-bernama-ekspor.html
Senin,
30 Januari 2018
Sebagai balasan, para petani
sawit itu kemudian menghimbau agar masyarakat Indonesia memboikot produk-produk
MEE.
Kita tahu bahwa soal ini
adalah perang dagang yang jarang sekali kita menangkan. Dalam kasus sawit ini
perlu segera diingat bahwa nasib kelapa kita terpuruk karena perang dagang juga
sehingga kelapa boleh dikatakan telah diganti sawit.
Padahal sawit bukan tanaman
asli Indonesia dan jenis tanaman yang tidak bersahabat dengan lingkungan karena
sangat rakus air dan rakus lahan.
Perlu juga dicatat juga bahwa
penghasilan kita dari sawit saat ini sudah melampaui pariwisata dan migas.
Kasus sawit ini sebagian
menunjukkan betapa kita sangat tergantung ekspor. Selama kita gagal mengolah
sawit mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi, maka kita akan tetap
tergantung ekspor sawit mentah atau minyak sawit mentah.
Padahal pasar dalam negeri
kita bisa dibesarkan dengan mengolah sawit menjadi berbagai produk turunan lain
dengan nilai tambah tinggi untuk pasar dalam negeri.
Harus segera diingat bahwa di
era penjajahan dahulu, para penjajah itu menjarah berbagai komoditi kita untuk
dijual ke Eropa. Melalui penjajahan itu mereka memeroleh berbagai komoditi itu
dalam harga yang sangat murah melalui proses produksi primer murah yang setara
dengan perbudakan.
Gejala ketergantungan ekonomi
kita pada ekspor komoditi berharga rendah (harganya bahkan ditentukan oleh New
York, London atau Amsterdam) itu adalah gejala era kolonial yang tidak banyak
berubah hingga saat ini.
Scopus,
kolonialisme baru?
Sebagai insan universitas, saya melihat ada semacam analogi antara ekspor dan Scopus—sebuah pangkalan data ilmiah yang dimiliki oleh Elsevier dan berkantor pusat di Amsterdam.
Sebagai insan universitas, saya melihat ada semacam analogi antara ekspor dan Scopus—sebuah pangkalan data ilmiah yang dimiliki oleh Elsevier dan berkantor pusat di Amsterdam.
Kinerja dosen perguruan
tinggi saat ini juga ditentukan oleh publikasi terindeks Scopus. Ini sama saja
dengan ekspor yang harus memenuhi standard Eropa. Seorang dosen dinilai tidak
produktif jika tidak mengekspor tulisan hasil penelitiannya ke Jurnal
Internasional yang terindeks Scopus.
Ekspor hasil-hasil dan
data-data penelitian ke Jurnal Internasional terindeks Scopus ini menunjukkan
satu keanehan dengan derajat yang meninggi.
Pertama, kita secara sukarela
bahkan dengan membayar, menyerahkan hasil-hasil penelitian kita ke orang asing.
Padahal dahulu para penjajah itu harus melakukan penelitian sendiri ke tanah
jajahan tersebut.
Kedua, kita bahkan semakin
tergantung pada penilaian orang asing untuk menilai kinerja ilmiah kita.
Saya harus mengatakan bahwa
ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, dalam perang asimetris saat ini.
Jika ketenaran seseorang
peneliti diukur melalui indeks Scopusnya, seorang rekan peneliti muda saya
mengatakan bahwa ketenaran itu membuat ikhlas makin sulit.
Masalahnya adalah ajaran
bahwa ketenaran itu penting sudah menyusupi benak kita saat perankingan dimulai
di sekolah. Mereka yang rankingnya tinggi adalah para jawara, dan yang
rankingnya rendah adalah para pecundang.
Penilaian kinerja melalui
perankingan bertahun-tahun ini telah menyebabkan sebuah deprived
emotional dependance yang luas—setara dengan Kejadian luar
biasa—di mana hampir setiap orang bingung kalau tidak diranking, lalu segera
merasa menjadi pencundang jika rankingnya di bawah.
Jika keikhlasan itu adalah
kesetiaan pada bakuan prosedur operasional, lalu bersabar itu adalah istiqamah
pada tujuan, maka perankingan dalam berbagai bentuk yang dilakukan oleh orang
asing atas kita, harus kita sikapi dengan lebih santai kalaupun masih peduli.
Oleh karena itu kita perlu
bersabar agar kesempatan ikhlas kita bisa lebih baik jika kita menguatkan pasar
domestik dengan produk bernilai tambah tinggi melalui hilirasi hasil-penelitian
kita dari pada sibuk menyerahkan data dan hasil penelitian kita demi melayani
perankingan orang asing. [*]
PWMU//RPC