PERLU DIBACA: DEMOKRASI PARTISIPATIF (TANPA) JANJI POLITIK
https://www.riaupublik.com/2018/01/demokrasi-partisipatif-tanpa-janji.html
Selasa, 31 Januari 2018
.
0leh: |
Inggar Saputra: Peneliti Nusantara Institute, Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia
RIAUPUBLIK.Com-- Bentuk kepercayaan rakyat
kepada pemimpin menjadi penting, sebab akan membentuk demokrasi yang
partisipatif. Sebuah bentuk demokrasi dimana pemimpin terikat kontrak politik
dengan rakyat dalam menjalankan agenda pembangunan di daerahnya. Mekanisme
kontrak politik jelas akan membuat rakyat memberikan legitimasi penuh kepada
pemimpin sehingga hubungan saling percaya dapat terjalin dengan baik. Proses
timbal-balik kepercayaan membuat pemimpin memposisikan rakyat bukan sebagai
pengikut, melainkan mitra dalam memajukan daerah yang dipimpinnya.
Demokrasi partisipatif ideal di
atas itu tentu tidak lahir dalam sekejap mata, sebab dibutuhkan proses yang
panjang dan bertahap. Bagaimanapun, menciptakan rakyat yang mau bekerjasama
dengan pemimpin membutuhkan kesadaran bersama pemimpin dan rakyat baik pikiran
dan tindakan. Pemimpin bertugas menciptakan rakyat yang memahami arah kerjanya
ke depan. Sedangkan rakyat membutuhkan sosok pemimpin yang sesuai ekspektasinya
dan mampu membuat program inovatif sehingga problematika sosial seperti
kesehatan ekonomi dan pendidikan yang selama ini dihadapi rakyat dapat
terselesaikan dengan baik.
Konteks ini, khususnya dalam
pilkada serentak akhir tahun 2015 menuntut setiap calon pemimpin mampu
menghasilkan program kerja yang dibutuhkan rakyat. Agenda itu tidak hanya
terpaparkan dalam visi dan misi, melainkan bagaimana mampu diamalkan secara
nyata. Kepemimpinan daerah ke depan membutuhkan sosok pemimpin berani,
visioner, amanah dan mampu mempertanggungjawabkan janjinya ketika kampanye.
Bukan pemimpin yang pandai mengobral janji, tapi ketika sudah memegang tampuk
kekuasaan melupakan segala janji yang pernah diucapkannya.
Bagaimanapun rakyat di daerah,
meminjam pernyataan Andi Setiadi (2013) sudah bosan kepada janji dulu, bukti di
kemudian hari. Sudah terlalu banyak janji ditebarkan selama musim kampanye,
yang tertuangkan dalam debat publik, kampanye terbuka dan pemasangan baliho
serta spanduk di jalan. Sekarang, sudah waktunya strategi politik para calon
pemimpin daerah berubah, dari budaya retoris menebar janji menjadi tawaran
“kerja nyata” yang mampu menangkap realitas dan kebutuhan fundamental
masyarakat.
Dalam menilai janji politik,
masyarakat diharapkan semakin cerdas dan kritis sehingga tidak selalu terjebak
rayuan manis para calon pemimpin. Untuk itu, sebagaimana dinyatakan Aswar Hasan
(2013), ada tiga parameter yang dapat dipakai masyarakat dalam menilai calon
pemimpin yang akan menentukan kehidupan mereka selama lima tahun ke depan.
Pertama, janji politik disampaikan calon pemimpin yang selama ini dikenal
memiliki track record bersih. Ini dimaknai, calon pemimpin tidak pernah
terjebak korupsi dan pembohongan publik sehingga teruji integritasnya. Dalam
konsep Islam, indikator sederhananya tak mengandung sifat orang munafik yaitu
jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari dan jika dipercaya,
maka dia berkhianat.
Kedua, janji yang ditebarkan
dalam kampanye politik memiliki sumber dana yang tidak jelas. Sifat programnya
masih belum lulus uji public, menguras anggaran APBD, masih proses rencana dan
lebih mengenaskan tidak mampu dipertanggungjawabkan kepada pemilihnya. Dalam
konteks ini, ketidakjelasan sumber anggaran cenderung membuat masyarakat mudah
menaruh prasangka atas program kerakyatan yang dijalankannya. Jika rakyat sudah
mendelegitimasi, maka kepercayaan kepada pemimpin cepat atau lambat akan jatuh.
Ketiga,
program atau janji politik merupakan program nasional yang diturunkan dalam
konteks lokal, sehingga tidak menghasilkan inovasi yang dapat dirasakan
masyarakat luas. Rakyat perlu mewaspadai modus gaya berpolitik ini, sebab
umumnya pemimpin copy paste tidak
mampu menampilkan ciri khas daerahnya. Sehingga rawan sekali terjebak dalam
rutinitas yang menjemukan, sebab program bersifat top down yang tidak menyerap
aspirasi dari kalangan bawah.
Akhirnya semua berpulang kepada sejauhmana pemilih dapat bijaksana dan kritis terhadap para calon pemimpinnya. Segala upaya busuk seperti kampanye hitam, tudingan kampanye terselubung dan politik uang yang sempat melanda salah satu calon harus mampu dibuktikan secara nyata, bukan berdasarkan laporan tanpa fakta yang jelas. Budaya politik santun harus terbangun dengan pertarungan adu program yang subtansial, bukan politik kotor dan demokrasi prosedural. Jangan lagi ada, pemimpin yang rajin menebarkan harapan palsu dalam kampanye, sebab jika itu terjadi rakyat akan menghukumnya ketika dia berkuasa kelak.(**)