Gugatan Permen 17/2017 Seperti Senjata Makan Tuan
https://www.riaupublik.com/2017/10/gugatan-permen-172017-seperti-senjata.html
Rabu, 25 Oktober
2017
PEKANBARU, RIAUPUBLIK.Com-- Peraturan Menteri No. 17 Tahun 2017
tentang pembangunan hutan tanaman industry (HTI) merupakan aturan teknis
tentang pengelolaan areal konsesi yang dioprasionalkan oleh perusahaan pemegang
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan tanaman industry seperti
PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) anak perusahaan APRIL Grup dan juga Asia
Pulp Paper (APP) grup.
Syahrudin Kepala Departemen Sumber Daya Alam dan Keagrariaan JMGR mengatakan, "Permen 17/2017 ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan ekosistem gambut didalam PP. 57/2016 mengklasifikasi gambut menjadi dua fungsi yaitu fungsi lindung dan budidaya. Gambut dengan fungsi lindung peruntukanya hanya boleh untuk penelitian, pengetahuan, pendidikan dan jasa lingkungan. Sedangkan fungsi budidaya diperuntukkan kegiatan-kegiatan seperti perkebunan, pertanian dan lain-lain yang tetap mengacu pada aturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan gambut".
"Permen 17/2017 mengatur tentang pembangunan hutan tanaman industry, ketika teridentifikasi areal kerja suatu perusahaan berada di dalam areal gambut dengan fungsi lindung maka diberikan kesempatan untuk satu kali daur atau satu kali panen dan tidak boleh ditanami kembali, hal tersebut tertuang dalam permen 17/2017 pasal 8 huruf e, jika areal yang teridentifikasi sebagai fungsi lindung tersebut luasanya lebih atau sama dengan 40 % (perseratus)perusahaan yang bersangkutan dapat mengajukan lahan usaha pengganti (landswap)". Ungkapnya.
"Namun Permen 17/2017 sudah di gugat oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) wilayah Riau, dan gugatan tersebut sudah dikabulkan oleh Makamah Agung (MA) dengan putusan uji materi dengan nomor register 49 P/HUM/2017 yang membatalkan perlindungan gambut yang mewajibkan perusahaan HTI mengalihfungsikan gambut dalam yang semula izin budidaya ke fungsi lindung, otomatis jika Permen sudah tidak ada maka tidak ada lagi landasan hukum untuk perusahaan seperti PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan perusahaan kehutanan lainya untuk mengajukan lahan pengganti ketika areal kerjanya berada di gambut dengan fungsi lindung".
"Sebenarnya pemerintah sudah cukup membuka ruang untuk perusahaan namun memang dasarnya perusahaan kayu di Riau bandel dan arogan sehingga berdampak pada kerugian perusahaan itu sendiri, ini seperti boomerang yang menyerang balik atas serangan mereka (red: perusahaan) terhadap pemerintah".
Dengan gugurnya Permen 17/2017 tersebut maka penetapan kawasan gambut dengan fungsi lindung yang setelah panen tidak lagi boleh ditanamai akan mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 57 tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut". Tutup Syahrudin.
Pencabutan izin dan Solusi
Sementara itu. Isnadi Esman Sekretaris Jendral JMGR mengungkapkan. "Pemerintah Indonesia melalui presiden saat ini mempunyai target 12,7 juta hektare untuk Perhutanan Sosial (PS) dan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), dua target pemerintah tersebut selaras dengan Nawacita Pemerintah, lahan-lahan yang izinya dicabut berpeluang agar bisa diperuntukkan dalam mekanisme perhutanan sosial dan TORA. Walaupun tidak segampang membalikkan telapak tangan namun masih sangat mengungkinkan yang penting adalah keinginan dan ketegasan dari pemerintah".
Lanjutnya, "Perhutanan Sosial memungkinkan untuk digambut, namun yang penting adalah model kelolanya bisa saja dengan usaha ekowisata, jasa lingkungan dan konsep lindung. Sehingga masyarakat menjadi stakeholder kunci yang terlibat langsung dalam upaya perlindungan dan pengelolaan gambut yang arif dan berkelanjutan. Perusahaan yang sebelumnya menguasai areal terbut harus di dorong pertanggung jawabanya atas perbaikan lahan gambut yang sebelumnya di eksploitasi oleh mereka. Pemerintah dapat meberikan pendampingan dan penguatan ditingkat masyarakat yang mendapatkan hak kelola kawasan tersebut".
"Suka tidak suka, pro dan kontra, usaha perlindungan gambut harus dilaksanakan, jika ingin tidak ada lagi bencana asap, konflik tenurial dan sosial, ketimpangan penguasaan atas tanah dan kembalinya ekosistem gambut yang mampu menjadi sumber kehidupan masyarakat". Pungkas Isnadi
Syahrudin Kepala Departemen Sumber Daya Alam dan Keagrariaan JMGR mengatakan, "Permen 17/2017 ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan ekosistem gambut didalam PP. 57/2016 mengklasifikasi gambut menjadi dua fungsi yaitu fungsi lindung dan budidaya. Gambut dengan fungsi lindung peruntukanya hanya boleh untuk penelitian, pengetahuan, pendidikan dan jasa lingkungan. Sedangkan fungsi budidaya diperuntukkan kegiatan-kegiatan seperti perkebunan, pertanian dan lain-lain yang tetap mengacu pada aturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan gambut".
"Permen 17/2017 mengatur tentang pembangunan hutan tanaman industry, ketika teridentifikasi areal kerja suatu perusahaan berada di dalam areal gambut dengan fungsi lindung maka diberikan kesempatan untuk satu kali daur atau satu kali panen dan tidak boleh ditanami kembali, hal tersebut tertuang dalam permen 17/2017 pasal 8 huruf e, jika areal yang teridentifikasi sebagai fungsi lindung tersebut luasanya lebih atau sama dengan 40 % (perseratus)perusahaan yang bersangkutan dapat mengajukan lahan usaha pengganti (landswap)". Ungkapnya.
"Namun Permen 17/2017 sudah di gugat oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) wilayah Riau, dan gugatan tersebut sudah dikabulkan oleh Makamah Agung (MA) dengan putusan uji materi dengan nomor register 49 P/HUM/2017 yang membatalkan perlindungan gambut yang mewajibkan perusahaan HTI mengalihfungsikan gambut dalam yang semula izin budidaya ke fungsi lindung, otomatis jika Permen sudah tidak ada maka tidak ada lagi landasan hukum untuk perusahaan seperti PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan perusahaan kehutanan lainya untuk mengajukan lahan pengganti ketika areal kerjanya berada di gambut dengan fungsi lindung".
"Sebenarnya pemerintah sudah cukup membuka ruang untuk perusahaan namun memang dasarnya perusahaan kayu di Riau bandel dan arogan sehingga berdampak pada kerugian perusahaan itu sendiri, ini seperti boomerang yang menyerang balik atas serangan mereka (red: perusahaan) terhadap pemerintah".
Dengan gugurnya Permen 17/2017 tersebut maka penetapan kawasan gambut dengan fungsi lindung yang setelah panen tidak lagi boleh ditanamai akan mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 57 tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut". Tutup Syahrudin.
Pencabutan izin dan Solusi
Sementara itu. Isnadi Esman Sekretaris Jendral JMGR mengungkapkan. "Pemerintah Indonesia melalui presiden saat ini mempunyai target 12,7 juta hektare untuk Perhutanan Sosial (PS) dan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), dua target pemerintah tersebut selaras dengan Nawacita Pemerintah, lahan-lahan yang izinya dicabut berpeluang agar bisa diperuntukkan dalam mekanisme perhutanan sosial dan TORA. Walaupun tidak segampang membalikkan telapak tangan namun masih sangat mengungkinkan yang penting adalah keinginan dan ketegasan dari pemerintah".
Lanjutnya, "Perhutanan Sosial memungkinkan untuk digambut, namun yang penting adalah model kelolanya bisa saja dengan usaha ekowisata, jasa lingkungan dan konsep lindung. Sehingga masyarakat menjadi stakeholder kunci yang terlibat langsung dalam upaya perlindungan dan pengelolaan gambut yang arif dan berkelanjutan. Perusahaan yang sebelumnya menguasai areal terbut harus di dorong pertanggung jawabanya atas perbaikan lahan gambut yang sebelumnya di eksploitasi oleh mereka. Pemerintah dapat meberikan pendampingan dan penguatan ditingkat masyarakat yang mendapatkan hak kelola kawasan tersebut".
"Suka tidak suka, pro dan kontra, usaha perlindungan gambut harus dilaksanakan, jika ingin tidak ada lagi bencana asap, konflik tenurial dan sosial, ketimpangan penguasaan atas tanah dan kembalinya ekosistem gambut yang mampu menjadi sumber kehidupan masyarakat". Pungkas Isnadi