Tidak Mau Terbuka PSDH,Pecat Direktur RAPP Dan Humas Budi Firmansyah
https://www.riaupublik.com/2015/04/tidak-mau-terbuka-psdhpecat-direktur.html
RIAUPUBLIK.COM, PEKANBARU -Direktur
PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) Mulia Nauli enggan menanggapi
terkait kebocoran Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) akibat lemahnya
pengawasan pemerintah dan akan dilakukan pemanggilan kepada perusahaan
Hutan Tanaman Industri (HTI).
Ketika Riaupublik.com menghubungi
melalui telepon selulernya, meskipun nada sambung tersambung, Kamis siang
(30/4/2015) Mulia Nauli tak menanggapi, demikian juga ketika
dikonfirmasi melalui pesan pendek, ia juga tak menanggapi.
Serupa dengan Budi Firmansyah Humas PT
RAPP ini juga enggan menanggapi. Seperti berita yang dilansir oleh
antarariau, sebelumnya Panitia Khusus Monitoring dan Evaluasi Perizinan
Lahan DPRD Riau menyatakan akan kembali memanggil perusahaan kehutanan
yang beroperasi di daerah itu untuk memintai penjelasan terkait pasokan
bahan baku kayu, untuk mengetahui apakah benar pengawasan pemerintah
lemah sehingga merugikan negara ratusan miliar Rupiah untuk sektor
Provisi Sumber Daya Hutan.
“Dalam waktu dekat kita akan kembali
memanggil perusahaan kehutanan untuk membuka secara detail terkait bahan
baku mereka. Ada kelemahan pengawasan yang diduga disebabkan aturan
kehutanan dirancang oleh perusahaan dan disahkan oleh pemerintah.
Setelah reses kita panggil,” kata Ketua Pansus, Suhardiman Amby
dihubungi dari Pekanbaru, Rabu (29/4/2015).
Sebelumnya, Pansus telah memanggil
sejumlah 58 Perusahaan Kehutanan dari 61 total yang beroperasi di Riau.
Namun pemanggilan kembali direncanakan setelah melakukan tinjauan
langsung ke lapangan yang menemukan lemahnya pengawasan oleh petugas
negara terkait lalu lintas kayu dari tempatnya ke pabrik sehingga tidak
diketahui apakah kayu itu ilegal atau tidak.
Dalam tinjauannya saat itu, tidak ada
petugas syahbandar, bea cukai, dan kehutanan mengawasai lalu lintas kayu
di Sungai Siak menuju pabrik dua perusahaan kehutanan Indah Kiat Pulp
and Paper (IKPP) dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Hal ini
menandakan adanya “Loss Control” dari pemerintah sehingga tidak
diketahui kayu yang masuk itu ilegal atau tidak.
Dia menjelaskan bahwa sebaiknya
mekanisme tersebut setelah disahkan Rencana Kerja Tahunan dan kayu telah
tumbang harus dihitung jumlah potensi yang harus dibayarkan ke negara.
Ini disebut dengan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
“Yang melakukan ini adalah Petugas
Pejabat Laporan Hasil Produksi (P2LHP) dari Kementrian Kehutanan. P2LHP
harus memeriksa dan menghitungnya dulu dan setelah itu barulah bisa
masuk kapal,” ungkap Politisi Hanura ini.
Kemudian setelah masuk kapal tentu harus
ada juga pengawasan dari Bea Cukai. Tapi, kata dia, pada saat meninjau
beberapa waktu lalu tidak ada petugas di kantor, kosong semua.
Selanjutnya setelah kayu tiba di pabrik,
harus diperiksa oleh Pejabat Pembuat Pengesah Kayu Bulat (P3KB) dengan
berkoordinasi dengan P2LHP. Sebelum disahkan, harus diperiksa dulu
berapa yang diambil dan berapa yang sudah dibayarkan apakah itu kayu
alam atau pun hutan tanaman (akasia).
“Di lapangan tidak ada kontrol seperti
itu. Maka kami menduga ada potensi kerugian negara ratusan miliar dalam
waktu lima tahun saja dari sektor PSDH. Kalau perusahaan perlu 12 juta
ton per tahun, jadi kerugian kita setengah dari bahan baku (kayu) yang
masuk,” sebutnya.(Rpc/***)